Jumat, 23 November 2007

Perangkap Hutang bagi Domba Miskin

Ketika menginjakkan kakinya di kota Semarang 31 tahun yang lalu mbok Sartini tidak pernah membayangkan jika dirinya akan hidup makmur seperti sekarang ini. Ketika itu ia bersama suaminya Parjono siang malam tak pernah lelah untuk mengais rezeki. Dengan menempati rumah kontrakan kecil bersama empat orang anaknya selalu hidup dalam suasana prihatin, dan makan seadanya. Dari pagi sudah bangun untuk membuat ramuan jamu gendong yang kemudian dijajakan keluar masuk menyusuri kampung. Begitu juga denga Parjono, yang harus masuk dari rumah kerumah serta keliling kampung dengan menarik gerobag airnya.

Terjebak Hutang
Meskipun dengan tekun, ulet dan sabar, selama lebih dari 11 tahun rupanya nasib baik belum juga datang menghampirinya. Keempat anaknya mulai tumbuh besar dan banyak membutuhkan beaya, baik untuk hidup sehari-hari maupun pendidikan. Guna untuk menutupi beaya kehidupan sehari-hari yang kian membengkak, pelan-pelan tanpa terasa mbok Sartini mulai masuk kedalam lingkaran jeratan hutang. Mula-mula jumlahnya kecil namun lama-kelamaan lilitan hutang bagaikan air bah yang menghantam dirinya. Setiap hari laba dari hasil usaha suami-istri itu harus habis untuk membayar bunga-bunga lintah darat kampung tersebut. Karena semakin besarnya tanggungan, sementara bunga hutang kian menjerat, kini kehidupannya bagaikan mati suri, dirinya pasrah tidak tahu harus bagaimana lagi, disisi lain keempat anaknya terancam putus sekolah karena tidak bisa lagi membayar tunggakan SPP.

Disaat puncak-puncaknya rasa keputusasaan, tiba-tiba datanglah seorang tamu bijak, seolah-olah tidak sengaja mampir ketempat tinggalnya. Dengan perkataan halus, lembut dan santun sang tamu tersebut mulai memperkenalkan diri. Omong punya omong ia mengaku dari sebuah yayasan sosial yang menawarkan diri untuk membantu orang-orang yang bernasib seperti mbok Sartini, tapi dengan syarat mau mengikuti beberapa programnya yang sama sekali tidak sulit dan berat.

Masuk Perangkap “kuning”
Pucuk dicinta ulam tiba, harapan yang sudah bertahun-tahun ia dambakan kini sudah berada didepan mata. Gaung bersambut, akhirnya mbok Sartini bisa bernafas lega, ia lalu diberikan sejumlah uang secara cuma-cuma untuk menutup semua hutang-hutangnya plus beaya pendidikan putra-putra akan ditanggung secara gratis. Setelah semua terpenuhi kini mbok giliran Sartini yang harus memenuhi janji sebelumnya, yang ternyata,.........pasangan Parjono-Sartini ternyata telah masuk perangkap “maut” yaitu berada dibawah cengkeraman salibis yang selanjutnya dibabtis dengan nama Yohannes Parjono dan Cecilia Sartini. Belum genap sebulan ia pergi kegereja datang lagi tawaran yang “menggiurkan” yakni akan diberikan tempat berjualan dengan lokasi strategis apabila mau mengajak keempat anaknya keluar dari masjid untuk masuk kegereja. Dengan segala bujuk raju dari kedua orang tuanya akhirnya keempat anaknyapun ikut-ikutan terjerumus kejurang “kuning” (kuning : sandi kaum salibis/red). Kini mbok Sartini telah menempati kios jamunya disalah satu sudut halaman gereja disalah satu pesisir utara kota Semarang yang strategis dan sangat ramai, apalagi disaat-saat misa hari sabtu atau minggu.

Ketika tim investigasi kembali lagi beberapa minggu kemudian, kini perabot rumah tangganya sudah berganti dari yang dulu reot kini menjadi baru. Sedangkan keempat anaknya sudah bisa tersenyum dan memakai seragam dengan lengan dikanan atas bertuliskan Yayasan ............Begitulah cara-cara para misionaris dalam menjaring mangsanya. Mereka mengincar orang-orang yang sedang terpuruk ekonominya terutama yang lemah imannya. Tapi yang menjadi petanyaan, orang-orang yang memberi hutang mbok Sartini dulu, semuanya adalah orang-orang yang aktif digereja tersebut, begitu mbok Sartini masuk gereja, tiba-tiba hutang itu lunas begitu saja.........aneh ? Mungkinkah jauh sebelum kedatangan “orang bijak” tesebut, suatu jaringan misionaris telah memasang perangkap dengan memberika hutang sebanyak-banyaknya, setelah sikorban “lumpuh” barulah serangan babtis pelunas hutang dikeluarkan. Luar biasa liciknya mereka, cara-cara mereka sangat halus dan sabar sampai-sampai korbannya tidak menyadari selama bertahun-tahun.(Imm)

Nama pelaku sengaja disamarkan oleh tim Investigasi.

Tidak ada komentar: