Selasa, 13 November 2007

Hukum Istighotsah kepada Nabi



Istighosah sekarang ini sudah menjadi tren dikalangan kaum muslim. Namun sebenarnya mereka tidak menyadari bahwa ibadah yang satu ini banyak memuat kesalahan diluar tuntunan Islam.

Kesalahan yang pertama adalah istighotsah dengan memanggil nama Nabi Muhammad SAW. Sedangkan Islam tidak pernah mengajarkan yang seperti ini, islam merupakan agama yang beraqidah lurus, jadi tidak mungkin ada ajaran seperti ini. Beristighotsah dengan memanggil Nabi SAW merupakan perilaku yang jauh dari islam, bahkan Nabi SAW. mengingkarinya.

“Sesungguhnya janganlah kalian semua beristighotsah kepadaku, karena sesungguhnya istighotsah itu hanyalah kepada Alloh saja.” (Thabrani)

Memang kelemahan dari mereka, khususnya Islam tradisional seperti yang ada dipondok-pondok pesantren daerah adalah kurangnya penanaman chek and rechek terhadap suatu amaliah yang dilakukannya, salah satunya adalah masalah istighotsah ini. Kebanyakan dari mereka percaya saja kepada gurunya dan mencukupkan diri dengan menaruh prasangka bahwa tidak mungkin gurunya salah atau mengajarkan sesuatu yang salah.
Secara logika memang tidak masuk akal seorang guru mengajarkan kepada muridnya suatu penyimpangan, akan tetapi masalahnya bukan masuk akal atau tidak, yang menjadi masalah adalah bahwa sebenarnya gurunyapun juga seperti itu polanya, yaitu mendasarkan dalil kepada prasangka. Bahkan banyak pondok juga sengaja mengajarkan ketaklidan seperti itu. Pola prasangka seperti ini dipelihara terus menerus hingga berpuluh generasi.
Padahal sebagai manusia biasa pasti pada suatu ketika berbuat kesalahan. Bayangkan saja jika kesalahan itu terjadi pada generasi yang tengah, maka bisa dibayangkan sampai berapa puluh generasi lagikah kekeliruan itu akan terjadi ? Dan berapa juta korban kekeliruan akibat pola taklid seperti itu ? Dan itulah sebenarnya yang terjadi pada kebanyakan umat islam dewasa ini.
Sebenarnya kalau mau ikhlas dan tidak mengedepankan nafsu, tidaklah sulit meluruskan sesuatu yang salah, apalagi lulusan pondok itu dibekali ilmu untuk mampu menganalisa dan mencari sumber atau dasar yang benar dari amalan yang diperbuatnya. Bisa dicari dari Qur’an, sunah yang sahih, kitab-kitab yang berisi bagaimana para sahabat mengaplikasikannya, dan kitab-kitab lain yang lurus.
Sayangnya hal demikian jarang dilakukan, mereka lebih senang ngikut saja hingga akhirnya terjadi seperti diatas, beristighotsah dengan cara keliru mereka tidak menyadarinya, malahan ia merasa benar karena menurutnya sejak dulu ia diajari seperti itu. Payahnya, ketika diingatkan dengan landasan ilmu dan dalil, seperti menabrak dinding beton.

“Dan apabila dikatakan kepada mereka : “Marilah kita kembali kepada apa yang telah diturunkan oleh Alloh dan Rasul (Qur’an dan Sunah sahih).” Merka malah berkata : “(Tidak perlu karena) cukup bagi kami apa yang telah kami dapati dari (ajaran) para pendahulu kami.” (QS. 5 : 104)

Sebenarnya istighotsah itu boleh dan baik jika permintaan atau panggilan hanya kepada Alloh saja. Akan tetapi jika dicampur dengan permintaan atau panggilan kepada selain Alloh seperti kepada Nabi, wali dan sebagainya, maka ini sudah menyimpang dan harus dijauhi, jika ingin selamat.
Kesalahan yang kedua dari pertanyaan diatas adalah salah menempatkan maksud hadis. Memang benar bahwa ketika kita salam kepada Nabi SAW. maka ruh Nabi akan dikembalikan untuk menjawab salam. Akan tetapi maksudnya adalah di kubur Nabi, bukan asal sholawat lalu ruh Nabi dikembalikan. Hal ini sama dengan manusia beriman lainnya dimana jika penghuni kubur seorang beriman kemudian ada yang salam kepadanya, maka ruhnya dikembalikan Alloh ke kubur (tentu saja alamnya berbeda) untuk menjawab salam.

“Jika seorang muslim melewati kubur saudaranya yang dikenalnya ketika di dunia, lalu ia mengucapkan salam kepada ahli kubur tersebut, maka alloh mengembalikan ruhnya agar bisa menjawab salamnya.” (Ibnu Abdil Barr)

Jadi tidak benar kalau ada orang sholawat lalu datanglah ruh Nabi SAW, itu benar-benar mengada-ada. Memang ada hadis-hadis yang menjelaskan seperti itu, sekali lagi sayangnya hadis-hadis tersebut tidak bisa dipertanggung jawabkan, kalau tidak dhoif biasanya palsu atau tidak ada asal usulnya (karangan manusia).
Kesalahan yang ketiga, tidak ada hadis yang menyatakan kalau setan datang ke istighotsah dan mengaku Nabi maka setannya akan hancur, ini mengada-ada. Yang ada adalah setan tidak akan bisa menyerupai Nabi dalam mimpi seseorang.
Nah saudara, lebih enak bukan beragama dengan ilmu, bukan asal-asalan atau mengekor saja ? Sedangkan untuk pertanyaan kedua, niat itu sejak zaman Nabi SAW hingga nanti kiamat itu tidak ada ucapannya, dicari dikitab atau buku hadis manapun didunia ini tidak akan pernah ada hadisnya, apalagi Qur’annya. Jadi niat itu cukup dengan memantapkan diri terhadap apa yang akan anda lakukan, lebih baik lagi diawali dengan membaca basmallah.Sebenarnya pembolehan pengucapan niat oleh para ulama itu ditujukan bagi para pemula, dimana hatinya masih belum bisa konsentrasi sedangkan bagi yang bukan pemula tentu tidak perlu. Namun begitu bila anda masih belum bisa menghilangkan kebiasaan mengucapkan niat, dari pada anda bingung dan kesalahan, ucapkanlah dalam bahasa Indonesia. Kenapa demikian ? Karena secara hukum mengucapkan niat dalam bahasa Indonesia dan bahasa Arab itu lebih baik mengucapkan dalam bahasa Indonesia.

Tidak ada komentar: