Situasi dan kondisi bangsa pada saat itu sangat memperihatinkan. Bangsa kulit putih dari negeri kincir menancapkan kekuasaan dibumi nusantara ini yang mengakibatkan rakyat tertindas, terbelenggu dan terbelakang. Melihat kondisi ini membuat seorang muslim sejati, Muhammad Natsir terpanggil untuk ikut membela bangsa yang berjuang menentang kekejaman Belanda.
Pejuang Muslim dan nasionalis
Pejmuda kelahiran Maninjau Sumatra Barat, 16 Juli 1908 itu sebelumnya ikut turun kemedan front bersama para pejuang lainnya dihutan hutan pedalaman Sumatra. Selain mengangkat senjata, melalui dakwah dan tulisan, dikalangan pemuda ia juga gencar menyuarakan perlawanan dan menentang penjajah. Dengan berbekal ilmu pendidikan umum dan agama, pria yang bergelar Doktor Honoris Causal fari Universitas Islam Indonesia, ini mulai berjuang lewat jalur pendidikan. Pada masa pendudukan Belanda, tokoh intelektual muda ini sudah memimpin Direktorat Pendidikan diJakarta dan duduk di Majelis Permusyawaratan Rakyat Sumatra. Disinilah Natsir semakin gencar menyuarakan dan meluruskan kebenaran Islam serta mendirikan partai MASYUMI (Majelis Syura Muslimin Indonesia) untuk “payung” perjuangan muslim. Lewat tulisan, karya beliau terbilang lumayan banyak dan bisa mempengaruhi opini nasional yang berkembang pada saat itu. Diantaranya, Qur’an en Evangelie, Muhammad als Profeet serta beberapa karya monumentalnya yang tertuang dalam buku Capita Selekta, dan masih banyak lagi karya karyanya.
Sikapnya yang tegas terlihat ketika Belanda hendak mendirikan Negara serikat. Natsir menentang keras dan tetap mengajukan pembentukan kesatuan Republik Indonesia yang akhirnya disetujui lebih dari 90 persen anggota Masyumi, yang akhirnya ia menduduki jabatan menteri. Disinilah seorang pejuang dan pakar ilmu, dengan melalui dakwah, menentang keras praktik praktik kristenisasi, serangan para misionaris, antek antek penjajah serta para kaki tangan barat dan timur. Sejarah mencatat, mosi integral Mohammad Natsir tahun 1949 merupakan pangkal proses yang menyelamatkan Indonesia dari perpecahan, sehingga kembali menjadi NKRI. Adapun keterlibatan Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, dan beberapa tokoh nasional dalam perlawanan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) tahun 1958-1961 di Sumatera Tengah (Sumatera Barat) dilatarbelakangi tujuan untuk menyelamatkan Negara Republik Indonesia dari bahaya Komunisme/PKI dan menuntut keadilan pemerintah pusat terhadap pembangunan daerah-daerah di luar Jawa.
Gerakannya kian menggebrak dalam meluruskan akidah Islam di kalangan parlemen, hingga salah satu pidatonya yang terkenal, berjudul “Pilihlah salah satu dari dua jalan, Islam atau Atheis” dan Islam sebagai titik tolak kemerdekaan dan kedaulatan, yang dipublikasikan oleh majalah “Al Muslimin” dan sangat berpengaruh bagi kaum muslimin di tanah air. Selain itu, pidato Natsir dalam Sidang Konstituante pada tahun 1957 sangat luar biasa. Sebagai seorang ulama dan sastrawan sekelas Hamka pun sampai terpana ketika beliau mengupas tuntas kelemahan sekularisme sebagai paham tanpa agama, (Ladiiniyah). Natsir dengan tegas menawarkan kepada Sidang Konstituante agar menjadikan Islam sebagai dasar negara RI.
Gerakan bawah tanah
Namun sayang, Presiden Soekarno “mengganjal” karena dinilai berseberangan, sehingga timbul perbedaan pendapat. Kian meruncingnya perseteruan kedua belah pihak, membuat kubu Soekarno merangkul partai komunis Indonesia (PKI). Dengan dalih “Nasionalisme sebagai titik tolak kemerdekaan”, mereka menyerang hingga pada puncaknya Natsir ditangkap dan Masyumi dibubarkan
Terali besi bagi seorang Natsir bukan berarti perjuangannya telah habis. Dengan semangat yang tak pernah surut, Beliau membuat perlawanan bersama para tokoh Masyumi dengan menempuh jalur dakwah di masyarakat, masjid, pesantren, dan perguruan tinggi dengan semboyan : “Dakwah adalah laksana air yang mengalir, pantang berhenti, dan tidak bisa dibendung”. Gerakan bawah tanah inipun terus berlanjut hingga terjadi revolusi militer yang berhasil menggulingkan Soekarno ditahun 1965, dan hancurlah faham Nasakom (Nasionalis dan komunis).
Paska runtuhnya Soekarno, Natsir dan rekan-rekannya kembali “bergerak” menjadi front terdepan dalam menghambat kristenisasi yang kian meningkat. Angin kebebasanpun meniup segar pada gerakan Muhammad Natsir meskipun hanya sementara. Karena oleh pemerintah orde baru, Beliau dianggap tidak sehaluan. Puncaknya ditahun 1980 kelompok Natsir kembali dicekal bersama 50 tokoh masyarakat dan organisasi keagamaan saat menyampaikan “petisyen” atau lebih dikenal dengan nama Petisi 50 kepada pemerintah orde baru, atas kebimbangan dan keraguan mereka terhadap pembangunan dan demokrasi di Indonesia
Manhaj Dakwah
Tirai besi orde baru tidak menghambat perjuangannya, karena bersama rekan-rekannya mendirikan Dewan Dakwah Islam Indonesia yang memusatkan aktivitasnya dengan pembinaan fikrah Islam yang benar, menyiapkan para generasi muda agar dapat mengarahkan masyarakat, pendirian pusat pusat kegiatan Islam (Islamic Center) dan masjid, menyebarkan buku-buku Islam, membentuk ikatan-ikatan pelajar Islam, serta mendirikan beberapa asosiasi professional para insinyur, petani, pekerja dan lain-lain. Beliau juga menjalin hubungan dan persatuan dengan gerakan-gerakan Islam Internasional, terutama masalah Palestina, Ia berhasil teripilih menjadi Wakil Ketua Muktamar Islam Internasiomal di Pakistan.
Namun,.sebelum cita citanya untuk menegakkan syariat Islam terwujud, pada tanggal 5 Februari 1993, pahlawan nasionalis Dr Muhammad Natsir telah “dipanggil” kembali oleh Allah Swt. Sangat ironis, perjuangannya tidak sebanding dengan namanya yang kini hampir dilupakan.
Selamat jalan Pahlawanku ……kami akan terus melanjutkan perjuanganmu. (Imam)
Tokoh pembaharuan Islam
Sepanjang hayatnya, murid intelektual ulama A Hassan Bandung dan Haji Agus Salim ini.telah memberi pengabdian dan semangat jihad bukan saja kepada bangsa tetapi juga kepada umat Islam. Aktif dalam organisasi Jong Islamieten Bond, ia berupaya memerangi kebodohan dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan mendirikan sekolah Pendidikan Islam di Bandung yang mempunyai tingkat Frobel (TK), HIS (SD) dan MULO (SMP)
Sikap istiqamahnya terpancar dan tercermin dalam perilaku sehari-harinya baik sebagai seorang pemimpin politik maupun umat. Sebagai seorang tokoh pembaharuan dan intelektual Muslim, beliau menegakkan syariat Islam secara murni dan tidak bercampur-adukan dengan bid’ah, khurafat dan tahyul.. Sangat terbuka terhadap kritikan dan saran dari kawan dan lawan walaupun membawa kepada polemik.
Berperan sebagai perintis dalam wacana intelektual, terbuka dan demokrasi tentang Islam, Beliau tidak pernah mengecam dan mencaci lawan bicara dalam setiap dialog. Di sinilah letaknya keistimewaan dan kearifan seorang Mohammad Natsir sebagai pemikir dan tokoh pembaharuan Islam
Salah satu cuplikan pidato Muhammad Natsir ketika dalam siding konstituante tahun 1957 hingga seorang Buya Hamka terkagum kagum, ”Seorang sekularis tidak mengakui adanya wahyu sebagai salah satu sumber kepercayaan dan pengatahuan. Ia menganggap bahwa kepercayaan dan nilai-nilai itu ditimbulkan oleh sejarah ataupun oleh bekas-bekas kehewanan manusia semata-mata dan dipusatkan kepada kebahagiaan manusia dalam kehidupan sekarang ini belaka. Jika dibandingkan dengan sekularisme yang sebaik-baiknya pun, maka adalah agama masih lebih dalam dan lebih dapat diterima oleh akal. Setinggi-tinggi tujuan hidup bagi masyarakat dan perseorangan yang dapat diberikan oleh sekularisme, tidak melebihi konsep dari apa yang disebut humanity (perikemanusiaan). Yang menjadi soal adalah pertanyaan, ”Dimana sumber perikemanusiaan itu?”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar