Selasa, 04 Maret 2008

Hatinya Tergugah di Lapas Nusakambangan

Sejak kecil dirinya memang sudah terbiasa dengan lingkungan keras(salah satu kampung di Semarang Utara), orang-orang sekitar yang akrab dengan minuman keras dan kriminal lainnya. Maka tidak heran jika pemuda bernama Zainudin (bukan nama sebenarnya) alias Keling ini terbentuk dan terbiasa dengan suasana kehidupan tersebut. Setiap malam dengan teman-temannya sering nongkrong di gardu depan kampungnya hingga menjelang dini hari sambil gitaran dan pesta miras. Di sekolahnyapun ia sering terkena hukuman dari gurunya karena berkelahi, membolos dan lain-lainnya sehingga ketika Qonsis menanyakan tentang pendidikan terakhirnya, ia hanya tersenyum malu, “Sudahlah mas itu tidak penting, saya malu kalau di singgung soal sekolah....yang penting sekarang kan sudah sadar...ha..ha..ha...” . Di tempat tongkrongannya inilah remaja kelahiran 2 September 1955 tersebut yang semula hanya iseng-iseng saja menggoda orang lewat, kadang sekedar minta rokok hingga menjadi penodong, sering berkelahi hingga tawuran antar kelompok. Suatu ketika ia terlibat perkelahian antar kampung, adu senjata tajampun tak terhindarkan yang mengakibatkan beberapa temannya terluka parah dan ia sendiri berurusan dengan pihak kepolisian.

Perang Antar Kelompok
Enam bulan mendekam terasa pahit merasakan dinginnya lantai kamar balik jeruji besi. Namun penjara tidak membuatnya jera, begitu bebas mental dan keberaniannya bertambah besar untuk menghadapi lawan-lawan saingannya. Dengan merangkul beberapa temannya, Zainudin mulai memperluas ‘daerah atau wilayah’ kekuasaannya. Maka di rebutlah salah satu Pasar di wilayah Semarang Utara yang menghasilkan banyak uang dari keamanan. Musuh-musuhnyapun selalu mengincar hingga pada suatu hari pecahlah bentrokan antara kubu pimpinan Keling melawan kelompok preman kampung sebelah pimpinan Brewok. Korbanpun berjatuhan hingga teman dekat Keling sendiri terluka parah akibat sabetan pedang musuhnya. Dari sinilah dendam mulai tersulut. Dengan mengerahkan seluruh kekuatannya bersama rekan-rekannya, ia terus memburu Brewok, bahkan sampai ke ujung dunia sekalipun, katanya kepada Qonsis ketika di temui.

Dendam Berakhir Pembunuhan
Pada suatu sore menjelang Hari Raya Idul Adha Sp (mata-mata-istilah bahasa premannya) dari Zainudin melihat Brewok bersama temannya sedang memperbaiki kendaraan di sebuah bengkel jalan raya Kaligawe, lalu ia segera melapor “komandan” Keling. Saat itu juga penggrebekan di lakukan. Pertarungan tidak seimbangpun terjadi, dua lawan sembilan orang yang berakhir dengan tewasnya Brewok di ujung samurai Keling. Puas rasanya bisa menghabisi pesaing utama meski ia harus kembali lagi ke balik jerusji besi. Meskipun telah menghabiskan puluhan juta hasil iuran dari teman-teman sesama preman dan keluarganya sendiri untuk menyuap jaksa, namun tetap saja vonis tujuh tahun diketuknya. Mau tidak mau diterimalah semua keputusan pihak pengadilan.

Dari Mlaten ke Nusakambangan
Hari-hari sepi mulai dirasakan di Lapas Mlaten pada waktu itu (sebelum pindah ke Kedung Pane) karena dirinya memang sengaja menjauhi kekerasan yang sering terjadi di setiap lapas untuk memperebutkan pimpinan kelompok (geng) dan kekuasaan. Namun pada suatu hari ketika dirinya di ejek, dihina dan di tekan, kesabarannya yang selama ini dipendam kembali ‘pecah’. Akhirnya bentrok sesama napipun tak terelakkan dengan jatuhnya korban kepala geng, Sanusi terkena tusukan Zainudin. Buntut dari semua ini Zainudin di pindah ke Lapas Nusakambangan.
Dari sinilah ia menuturkan bahwa hatinya mulai tenang dan hari-hari sepi di habiskan untuk membaca-baca buku yang disediakan oleh Lapas serta seringnya mendengarkan ceramah keagamaan. Setiap mendengar ayat suci dan adzan di kumandangkan air matanya sering meleleh, hatinya terbua dan jadilah ia seorang yang g tekun ibadah meskipun dari kecil tak pernah sekalipun menerima ajaran tentang agama.

Kambuh Lagi
Setelah bebas pengaruh rekan-rekan sesama preman mulai masuk. Penyakit lamanya kambuh lagi. Bersama para teman-temannya ia melebarkan kekuasaannya. Singkat kata bersama ia berhasil dan menjadi salah satu “Raja” minyak ilegal (perdagangan minyak dari hasil pemotongan setiap tangki yang akan memasok ke SPBU) dan melebarkan sayap hingga Jakarta serta namanya kian di segani. Namun ketika operasi besar-besaran Polwiltabes Semarang, dan cabangnya Jakarta juga ‘digulung habis’ oleh Polda Metro Jaya, usahanya benar-benar “hancur”, ia terpaksa menganggur hanya mengandalkan istrinya sebagai pedagang di Pasar Johar.
Di saat inilah ingatannya saat di Nusakambangan terbuka kembali dan mulai sadar apa yang telah ia lakukan selama ini keliru. Apalagi ketiga anaknya sudah menginjak dewasa, dan ia juga berkata “Apakah aku harus seperti itu terus ? manusia kan tidak hidup selamanya, roda itu tidak selalu di atas mas” katanya ketika di temui Qonsis.
Ketika di temui Qonsis di rumahnya yang terbilang cukup lumayan di salah satu di kawasan Pondok Raden Patah, ia kelihatan lebih santun, tekun beribadah dengan tato yang tersembunyi di balik kokonya. Ketika Qonsis bertanya tentang sikapny jika teman-teman lamanya kesini untuk “mengajak” lagi ? Ia hanya tersenyum, “Sudahlah, Zainudin sekarang bukan seperti Zainudin yang dulu lagi”. “. Berarti sudah insaf beneran dong, amiin.(Imm)

Tidak ada komentar: