Masa kecilnya hampir tak pernah merasakan kebahagiaan. Ketika teman-teman sebayanya bermain, canda ria, melanjutkan sekolah, Suryati harus berhenti di kelas lima karena kedua orang tuanya cerai. Bersama neneknya yang hidupnya serba pas-pasan ia membantu berjualan bubur di pasar Godong, Grobogan. Empat tahun kemudian neneknya meninggal dunia dan ia harus hidup sendiri. Karena tidak mampu meneruskan jualan neneknya, gadis kelahiran Penawangan, Purwodadi 45 tahun yang lalu ini memutuskan pergi merantau dengan harapan untuk memperoleh penghidupan yang lebih baik. Berbekal nekad minus pengalaman dan uang tabungan yang tidak seberapa berangkatlah Sur melalui stasiun Semarang. Begitu turun di setasiun Jatinegara, ia bingung, tidak tahu harus kemana. Keluar masuk toko, warung, pasar tak satupun yang mau menampungnya. Setelah dua hari ‘menggelandang’ di Jatinegara, bertemulah dengan Zamroni tetangga desa, penjual asongan di kereta api dan di titipkan menjadi pembantu bu Maimunah, penjual nasi warteg pasar induk Kramat Jati Jakarta Timur. Dua tahun berlalu tidak terasa bagi Suryati. Dengan pekerjaan rutinitas bangun pagi memasak, cuci piring, bahkan sudah di percaya untuk belanja bahan mentah, pola hidupnya pelan-pelan sudah ada kemajuan. Pada suatu ketika seorang pemuda berdarah Flores yang sering makan di warungnya tertarik dengan Suryarti, Yustinus namanya. Pucuk dicinta ulam tiba, di terimalah cintanya. Singkat kata dirinya mulai merasakan sedikit kebahagiaan bersama bang Yus yang sering memberinya sesuatu seperti baju, sandal, sepatu bahkan perhiasan. Makin lama Suryati kian percaya bahwa bang Yus betul-betul ingin serius menikahinya. Tiga bulan kemudian resmilah perkawinan mereka. Namun Suryati baru sadar ternyata suaminya adalah salah satu pentholan preman Kramat Jati dengan gaya hidup yang serba keras. Tapi bagaimanapun juga semua sudah terlanjur, ia sendiri sudah bahagia dengan menempati rumah kontrakan sederhana berdua. Belum puas merasakan indahnya bahtera rumah tangga, tiba-tiba sebuah tregedi menimpanya lagi. Ketika buah hatinya berusia tujuh bulan, kejadian tragis menimpa suaminya. Yustinus tewas ditikam sesama preman karena rebutan lahan kekuasaan. Hatinyapun hancur, tak tahu lagi kepada siapa ia harus bergantung. Sedangkan untuk kembali ke bu Maimunah rasanya tidak mungkin, karena warungnya telah di gusur. Rupanya ada teman Yus yang mau menampung ia dan bayinya. Tapi ternyata niat itupun tidak lebih buruk dari apa yang ia derita. Dengan iming-iming di masukkan di konveksi ternyata Suryati dijebloskan lokalisasi “Kramat Tunggak”, di kawasan Tanjung Priok. Ia tidak bisa apa-apa lagi karena harus mengganti beaya selama ia hidup di penampungan, juga putranya dalam sekapannya dengan alasan mau di rawat. Dalam hatinya menangis, tiap malam bersimbah peluh melayani pria hidung belang. Suara musik dang dut bercampur rock dan aroma minuman seolah mengiringi dirinya yang kian terjerumus ke dalam lembah hitam yang dalam. Orang-orang sekitar yang memandang seolah menertawakan nasibnya. Ketika Qonsis menanyakan bagaimana perasaannya ketika ‘melayani’ tamu-tamunya, ia menjawab dengan agak malu “Saya tidak tahu lagi bagaimana perasaanku saat itu. Yang jelas semua ini terpaksa,terpaksa dan terpaksa, demi menghidupi anak saya. Ttdak ada rasa sedikitpun hati ini bahagia dan ingin segera lari dari situ, entah kapan sermua ini harus berakhir, pasrah tapi saya tidak pernah berhenti berdo’a. Do’anya di dengar Allah. Tepatnya pada tanggal 31 Desember 1999 lokalisasi pelacuran yang sudah ada pada tahun 1970-an itu resmi ditutup Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dan dibangun Jakarta Islamic Centre. Dengan uang tabungan yang sudah cukup saat itu juga Suryati mengambil anaknya untuk kembali ke kampung. Hatinya mulai agak tentram berjualan ayam di desa setelah dirinya insyaf dan sering mengikuti berbagai pengajian. Selang beberapa tahun dirinya di nikahi oleh pedagang hasil bumi dari Buyaran Demak sebagai istri kedua. Kini Suryati yang baru saja menunaikan ibadah haji ini hidup bahagia bersama Rifai suaminya dan Yusuf (anak tinggalan Yus) membuka warung sembako di rumahnya jalan raya Semarang-Demak. |
Jumat, 02 Mei 2008
Jalan Berliku Mantan Kupu-kupu Malam
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar