Jumat, 02 Mei 2008

Buya HAMKA (Bagian 2)




Beliau membawa prinsip keyakinannya. Keteguhan hatinya membentang melewati aneka jaman, menyibak beragam wajah kekuasaan memberi banyak pelajaran

Bagi HAMKA, politik terlalu keras untuk di belah. Ia berharap Pemerintah baru dibawah kendali Soeharto memberi jalan bagi perjuangannya. Namun, ternyata sikap Orde baru lebih menekan terhadap partai-partai Islam. Pada Pemilu 1971 Masyumi tetap dilarang, dipaksa fusi, berganti Parmusi. Tokoh-tokoh eks Masyumi dihadang dengan penelitian khusus sehingga gagal masuk ke Parlemen. Akhirnya, ideologi perjuangan Masyumipun harus bergerak dibawah tanah untuk menyerang Golkar sebagai mesin politik Orba dukungan militer dan PNS. Para ulamapun didesak masuk, lima partai Islam kontesan Pemilu 1971 “dipaksa” bergabung menjadi PPP dengan pemberlakuan asas tunggal Pancasila dan aneka interfensi. Inilah awal langkah sistematis Orde baru untuk menjatuhkan dan menjauhkan identitas partai Islam.
HAMKA sadar dengan sikap dan rencana Orde baru. Untuk menghindari konvrontasi dengan Pemerintah lagi, dirinya menolak untuk mendukung salah satu partai dan juga menolak masuk Golkar. Sikap netral inilah yang membuat hubungannya dengan Soeharto di awal tahun 70 an akrab sehingga Beliau sering di minta untuk berceramah di istana negara. Ketika dirinya diminta berceramah di istana negara pada khotbah Idul Fitri 1 Januari 1968, HAMKA mengecam tindakan PKI. Inilah kemesraannya dengan Soeharto. Sejak saat itu beliau selalu mengisi pengajian rutin di RRI, TVRI dan berceramah keliling Indonesia. Dakwahnya mempunyai daya tarik seperti magnet sehingga mampu mengundang masyarakat untuk datang dan menghadiri ceramah-ceramahnya..

Berdirilah MUI
Ketika Pemerintah menjajaki Majelis Ulama yang berperan sebagai jembatan antara kepentingan Pemerinrtah dan umat Islam, maka di gelarlah musyawarah ulama. Atas keputusan berbagai utusan ormas Islam daerah termasuk ulama dari empat angkatan yang hadir, pada 26 Juli 1975 berdirilah Majelis Ulama Indonesia (MUI). Melihat sosok yang tepat , pandai, berilmu, berpengalaman dan kepiawaiannya dalam berdakwah, maka di tunjuklah Buya HAMKA sebagai ketua umum. Namun banyak kalangan menilai bahwa jabatan itu sebagai “jebakan” penguasa”. Tapi HAMKA sadar, betapa sulitnya berhadapan dengan penguasa, karena itu untuk menjaga netralitasnya beliau “Menolak mendapatkan gaji” dari jabatannya Ketua dan memilih berkantor di Al Azhar.
Jika HAMKA rukun dengan Soeharto, maka tidak dengan umat Islam. Pasca fusi suasana umat Islam dengan Soeharta dan underboundnya semakin hari kian tegang. Untuk meredakan suasana ini, Pemerintahpun gencar berkampanye tentang kerukunan hidup beragama. Namun ketika Pemerintah mencanangkan program toleransi bertajuk “Acara Natal bersama dengan mengundang pejabat dan umat Islam”, gemparlah umat Islam di Indonesia. Masyarakat bingung, batasan tentang toleransipun menjadi pertanyaan yang sulit di cari jawabannya. HAMKA angkat bicara. Pada bulan April 1981 dengan Komisi Fatwa MUInya dengan tegas mengeluarkan larangan untuk mengikuti acara natal bersama dan haram hukumnya bagi umat Islam. Beliau menegaskan “Umat Islam tak boleh mencampur adukkan akidah dan peribadatan dengan akidah dan peribadatan agama lain”.

Pemerintahpun marah !. Menteri agama Alamsyah Ratu Prawiranegara balik menyerang. Ia menilai, fatwa tidak utuh hanya memandang segi akidah semata tanpa melihat persoalan lain. Pemerintahpun berusaha menekan untuk mencabut fatwa karena merusak kerukunan beragama yang sedang di rintis. Namun apa kata Buya, “Hukum tetap hukum, tak bisa di tawar-tawar lagi dan tak ada yang sanggup menghapus fatwanya kecuali Allah. Dengan bersikap independen,

Beliau memberi contoh, fatwa MUI tidak boleh dicampuri urusan politik dan pemerintahan.
Karena tekanan pemerintah makin kuat, akhirnya pada 21 Mei 1981 HAMKA meletakkan jabatan sebagai ketua umum MUI. Mundurnya Beliau sangat disayangkan oleh banyak kalangan karena akan mempertajam pertikaian antara umat dan Pemerintah.
Upaya islahpun di lakukan. Beberapa orang utusan, diantaranya Kadisbintal AD, Tarmizdi Taher menemuinya. Buya tetap pada pendiriannya, baginya, “Ulama tidak bisa di beli, tidak bisa dibelut dengan awan dan kekuasaan. Pancasila sebagai dasar negara tapi bukanlah meletakkan agama dibawah Pancasila”.

Sejak mundur dari jabatan ketua MUI, HAMKA mulai jatuh sakit, dan pada 24 Juli 1981, ulama dan sastrawan besar itu wafat di usia 73 tahun. Kaum muslim baik di Idonesia hingga ke Malaysia, Thailand dan sekitarnya merasa kehilangan. Ribuan warga berta’ziah, begitu juga Alamsyah yang belum sempat islakh. HAMKA meninggal dunia memegang teguh prinsip keyakinannya. Keteguhan hatinya membentang melewati aneka jaman, menyibak beragam wajah kekuasaan memberi banyak pelajaran. Selamat jalan Ulama dan Sastrawanku.

1 komentar:

khalid hendriansyah mengatakan...

assalamu alaikum wr.wb. baru kali ini akau membaca posting tentang ulama besar indonesia saat ini ,yang tetap teguh untuk membela keyakinan tentsng islam ,saya setuju dg beliau untuk tidak mencampur adukkan antara agama dan pemerintahan.semoga beliau menjadi orang yang sahid.