Rabu, 09 April 2008

Buya HAMKA (bagian 1)


Jika tidak ditahan, mungkin beliau tidak cukup waktu untuk menyelesaikan karya bersejarah bangsa .yaitu Tafsir Al Azhar yang populer dan belum tergantikan hingga sekarang.

Karena kelicikan Jepang yang akan memberi kemerdekaan, membuat semangatnya bangkit. Di depan ribuan pemuda Islam, ia membacakan ikrar untuk membantu Jepang. Ia yakin kemenangan Jepang adalah kemerdekaan bagi bangsa Asia khususnya melayu. Keyakinan HAMKA inilah yang sangat disesali, sehingga dirinya turun, tereseret arus, dan ikut tampil menggelorakan kekuatan untuk kemerdekaan Indonesia seutuhnya.

Perseteruan Dengan Soekarno
Sumatra terasa sempit baginya, maka pasca merdeka hijrahlah ia ke Jakarta menjadi ketua majelis Pimpinan Haji di Kementrian Negara. Kepopuleran dan kiprahnya di organisasi mengantarnya menjadi Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Sejak itu pulalah hubungan serta pergaulannya dengan para tokoh politik dan pegerakan Islam makin luas.
Di tahun 1955, tokoh Masyumi yang lebih dikenal sebagai ulama sastrawan dan penulis ini mulai duduk di kursi parlemen. Debutnya ketika merumuskan kembali UUD, menginginkan pemberlakuan syariat Islam dan menolak bekerjasama dengan PKI. Hal inilah yang membuat HAMKA dengan Masyuminya harus menjadi oposisi dan berhadapan dengan Pemerintah. Soekarnopun membangun pemerintahan koalisi nasionalis agama dan komunis (Nasakom). Ketegangan makin memuncak ketika Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang membubarkan konstituante dan kembali ke UUD 45, dengan dimulainya demokrasi terpimpin. Masyumipun melawan, HAMKA menolak dekrit. Hasilnya, Masyumi dan PSII dibubarkan, dinyatakan sebagai partai terlarang, sejak itu pula Hamka dan kelompoknya di cap fundamentalis.
Perjuangannya terhenti, pada tahun 1959 Hamka menerbitkan majalah Panji Masyarakat yang berisi koleksi dan kritik terhadap kebijakan-kebijakan Pemerintahan Soekarno. Ketika ia memuat tulisan M Hatta yang sudah mundur dari Wapres dengan judul “Demokrasi Hitam”, Soekarno marah !. Hamkapun ditempatkan sebagai musuh serius. Bagi kalangan pendukung demokrasi terpimpin, Nasakom serta kaki tangan Soekarno yang tergabung dalam berbagai organisasi seniman dan budayawan underboundnya melakukan penyerangan secara sistematis. Mereka menggugat karya-karyanya sehingga memunculkan tuduhan Hamka sebagai pengkhianat dalam karya “Tenggelamnya Kapal Van Deer Wicht” terbitan tahun 1938, mereka menyebutnya sebagai “Moesoeh-moesoeh Revolusi” dan pro Malaysia.
Serangan berlanjut, Senin 17 Januari 1964 HAMKA “diciduk”, dan di masukkan kedalam penjara. Siksaan berat, ejekan dan intrograsi siang dan malam selama 15 hari menjadikannya jatuh sakit. Namun dalam statusnya sebagai tahanan justru Hamka berhasil membuktikan keyakinannya, butuhnya kemerdekaan jiwa dan pikiran segalanya bagi manusia, bahwa Jeruji penjara tidak mampu mengekang jiwa dan pikiran Hamka yang merdeka sehingga Beliau berhasil menyelesaikan karya monomentalnya tafsir Al Qur’an yang diberi nama Tafsir Al Azhar yang nantinya tersebar hingga mancanegara.

Menjadi Da’i dan Panutan
Pasca tumbangnya tumbangnya Soekarno 19 Juli 1966, Buya memutuskan untuk meninggalkan dunia politik, terjun sepenuhnya untuk berdakwah. Kepiawaiannya dalam berdakwah dan menulis berkembang pesat, ceramahnya rutin mengisi RRI dan di TVRI. Masjid Al Azhar dikembangkan menjadi komplek pendidikan Islam modern. Tutur kata yang lembut, pilihan bahasa dan katanya khas, tak ada kata-kata kasar yang keluar darinya, membuat tulisannya tersebar di berbagai media. Buku-bukunya terus bermunculan. Karyanya menembus lintas aliran dan agama. HAMKA melesat menjadi ulama, guru, mubaligh, tempat bertanya, panutan seluruh Indonesia bahkan hingga ke Malaysia. Dirinya menjadi serta juru dakwah yang paling dikagumi saat itu.
Inilah kelebihan HAMKA dibanding ulama kebanyakan saat itu, maka tidak heran jika beliau mendapat anugerah gelar Doktor dari Universitas Kebangsaan Malaysia dan Universitas Al Azhar Mesir. Namun HAMKA tak menepuk dada, menurutnya penghargaan ini semata-mata dari Allah. Beliau selalu menempatkan hati dan pikiran dalam posisi sama harganya. Ketulusan dan keikhlasan hatinya sangat jelas ketika Bung Karno meninggal dunia 21 Juni 1970, Beliau menjadi imam sholat jenazah musuh politik yang pernah “membunuhmya” itu.

Tidak ada komentar: